
Dalam lima tahun terakhir, teknologi seperti kecerdasan buatan (AI) dan sistem otonom telah mengubah cara militer melakukan operasi. Saat ini, AI tidak hanya digunakan dalam medan perang seperti pilot drone dan target akuisisi, tetapi juga dalam kegiatan administrasi seperti bantuan IT di kementerian pertahanan.
Meskipun teknologi terus maju, isu etika tetap penting terutama dalam penggunaan kekuatan mematikan. Saat ini, manusia masih harus bertanggung jawab dalam pengambilan keputusan kritis agar kesalahan yang dapat menyebabkan kematian tidak jatuh pada mesin.
AI juga mempercepat analisis citra satelit dan sinyal elektromagnetik, membuat unit militer sulit untuk bersembunyi dan mempercepat proses pengambilan keputusan. Namun, ini juga membuka celah untuk peperangan elektronik yang dapat melumpuhkan komunikasi dan menjadikan pasukan rentan.
Ketersediaan teknologi sipil yang semakin maju membuat teknologi militer harus mengejar ketinggalan, terutama karena proses pengadaan yang panjang. Ancaman dari aktor non-negara seperti drone murah yang digunakan secara massal memperlihatkan bahwa perang tidak hanya milik negara besar.
Untuk menghadapi tantangan ini, militer mengembangkan sistem jamming cerdas yang dapat membedakan sinyal musuh dan kawan serta menggunakan AI untuk menjaga kecepatan dan efektivitas memilih target. Komunikasi yang lancar dianggap sebagai kunci utama agar teknologi tempur dapat berfungsi dengan baik di medan perang.