
Pada tahun 1974, Douglas Hofstadter seorang mahasiswa pascasarjana fisika bertemu dengan masalah rumit dalam teori kuantum. Ia mencoba menghitung tingkat energi elektron dalam kisi kristal yang dekat dengan medan magnet. Teman sekelompoknya hanya mampu menyelesaikan masalah tersebut untuk nilai rasional sebuah parameter bernama alpha, sedangkan untuk nilai irasional, penyelesaiannya masih menjadi misteri.
Hofstadter memutuskan untuk mencoba pendekatan yang berbeda dengan menggunakan kalkulator meja HP 9820A untuk menguji nilai rata-rata energi untuk nilai rasional alpha. Hasilnya berupa pola fractal yang kemudian dijuluki sebagai Hofstadter butterfly yang menyerupai sayap kupu-kupu. Meski dicemooh oleh koleganya, dia tetap yakin pola tersebut mencerminkan sifat matematis yang mendalam, yaitu Cantor set.
Beberapa tahun kemudian, matematikawan Barry Simon dan Mark Kac menghubungkan masalah ini dengan fungsi hampir-periodik. Mereka menyatakan bahwa untuk nilai irasional dari alpha, set energi yang diizinkan membentuk Cantor set, yang kemudian dikenal sebagai konjektur sepuluh martini. Namun, pembuktiannya tetap sulit dan belum selesai meskipun hadiah martini telah dipatok untuk siapa pun yang berhasil memecahkannya.
Pada awal 2000-an, ilmuwan seperti Svetlana Jitomirskaya dan Artur Avila bekerja sama dan akhirnya berhasil membuktikan konjektur tersebut dengan metode kombinasi yang meskipun efektif, terasa seperti 'patchwork'. Sementara itu, ilmuwan di Columbia University berhasil mengamati Hofstadter butterfly secara eksperimental pada material grafena, menghubungkan teori matematika dengan fenomena fisik nyata.
Penemuan ini memotivasi dikembangkannya teori global Avila yang kemudian diperluas oleh Lingrui Ge dan tim dengan hasil yang lebih sistematis dan luas. Keberhasilan ini tidak hanya memperkuat hubungan matematika dan fisika, tetapi juga membuka peluang inovasi di bidang kuantum dan material canggih di masa depan.