
Para arkeolog melakukan penggalian penyelamatan di Tel Malhata, sebuah pemukiman di padang gurun Negev, Israel, antara Juli 2016 hingga Mei 2017, dan menemukan dua figurine hitam yang unik di dua makam dari total 155 makam yang ada. Figurine tersebut terbuat dari kayu ebony, yang merupakan kayu hitam langka dari pohon Diospyros ebenum yang tumbuh di Sri Lanka dan India Selatan. Penemuan ini menunjukkan adanya jejak perdagangan yang menghubungkan wilayah tersebut dengan Asia Selatan.
Dua makam yang ditemukan diduga milik satu keluarga, berisi figurine lelaki dan perempuan yang dibuat dari kayu ebony dan tulang, serta sisa-sisa seorang wanita muda berusia antara 20-30 tahun dan seorang anak laki-laki berusia 6-8 tahun. Lubang di figurine mengindikasikan bahwa benda-benda tersebut kemungkinan dipakai sebagai liontin atau kalung, yang menandakan nilai sentimental dan kultural dalam komunitas tersebut.
Penemuan ini dianggap ekstrim dan menarik oleh para peneliti karena merupakan figurine hitam pertama yang ditemukan di Israel yang terkait dengan komunitas Kristen. Posisi tubuh jenazah yang menghadap timur-barat juga menguatkan dugaan keberadaan komunitas Kristen awal di area itu, termasuk satu keluarga yang mungkin berasal dari etnis Ethiopia yang telah memeluk agama Kristen pada abad keenam dan ketujuh Masehi.
Kayu ebony yang digunakan dan ditemukan di Tel Malhata tidak tumbuh di wilayah tersebut, melainkan berasal dari wilayah Asia Selatan. Ini menunjukkan adanya jalur perdagangan yang luas dimana kayu tersebut diangkut melalui jalur laut hingga ke Mesir atau Afrika Timur, kemudian diangkut melalui jalur darat melewati Negev. Penemuan ini memberi wawasan tentang bagaimana barang mewah dan budaya melintasi wilayah dan bertukar antar komunitas pada masa itu.
Para peneliti masih mengalami kesulitan dalam memastikan asal-usul pasti atau hubungan keluarga antara mayat dan figurine, serta apakah figurine tersebut dibuat di Afrika atau Israel. Namun, hasil studi ini membuka kemungkinan bahwa komunitas Ethiopia Kristen telah hidup di lokasi tersebut, menjadi bagian dari jaringan perdagangan dan budaya yang luas pada masa Byzantium, serta menjaga tradisi leluhur mereka meski sudah memeluk agama Kristen.