
Untuk waktu yang lama, para ilmuwan percaya bahwa gen dalam sel dikunci dalam kondisi hanya dua, yaitu menyala (on) atau mati (off), yang membuat setiap sel mempertahankan identitasnya dengan jelas. Proses penguncian ini dilakukan oleh metilasi DNA yang berperan sebagai ingatan epigenetik agar sel seperti kulit tidak berubah menjadi jenis sel lain seperti neuron.
Namun, para peneliti dari MIT, termasuk Domitilla Del Vecchio dan timnya, menemukan sesuatu yang mengejutkan. Mereka menguji sel hamster ovarium dengan gen yang diprogram agar menyala pada tingkat berbeda-beda. Saat diberi metilasi DNA, mereka mengira gen akan kembali ke posisi on atau off, tapi yang terjadi adalah sel tetap mempertahankan tingkat ekspresi gen masing-masing sesuai setting awalnya.
Ini menunjukkan bahwa ekspresi gen tidak hanya hitam-putih tapi bisa berada di berbagai tingkat di antara keduanya, yang disebut sebagai memori analog. Para peneliti mengamati bahwa kondisi ini bertahan selama lebih dari lima bulan, membuktikan bahwa ini bukan hanya fase sementara melainkan keadaan stabil yang baru.
Temuan ini memiliki implikasi besar, terutama untuk memahami beragam jenis sel yang lebih luas dari yang diketahui saat ini dan juga terkait dengan penyakit seperti kanker, di mana sel bisa mengubah ekspresinya untuk bertahan dari terapi. Selain itu, dalam bidang biologi sintetik, memori analog ini bisa dimanfaatkan untuk desain jaringan dan organ buatan dengan presisi tinggi.
Para ahli seperti Michael Elowitz dari Caltech mengapresiasi studi ini dan menggarisbawahi bagaimana evolusi telah menciptakan mekanisme memori yang lebih rumit daripada yang diperkirakan, membuka banyak kemungkinan baru di bidang biologi dan medis pada masa depan.