
Microsoft baru-baru ini mengumumkan pemutusan hubungan kerja sekitar 6.000 karyawan atau hampir 3% dari total tenaga kerjanya di seluruh dunia. Langkah ini merupakan yang terbesar sejak dua tahun terakhir dan menandai pergeseran perusahaan dari masa perekrutan agresif di era pandemi ke penataan ulang organisasi. Pemangkasan ini sebagian besar terjadi di Amerika Serikat, tepatnya di kantor pusat mereka di Redmond, Washington.
Pemutusan hubungan kerja ini direncanakan terjadi pada berbagai level, divisi, dan lokasi, namun lebih banyak menargetkan posisi manajer di berbagai bagian bisnis, termasuk LinkedIn dan Xbox. Microsoft menyatakan bahwa jumlah karyawan mereka masih sedikit meningkat dibandingkan tahun lalu, sehingga pemangkasan ini bukan tanda kesulitan finansial, melainkan langkah strategis untuk meningkatkan efektivitas dan kelincahan organisasi.
CEO Satya Nadella dan CFO Amy Hood menegaskan bahwa perusahaan berfokus pada pembangunan tim berkinerja tinggi dengan mengurangi lapisan manajemen agar lebih gesit. Selain itu, perusahaan menginvestasikan sekitar 80 miliar dolar dalam pembangunan pusat data dan infrastruktur AI untuk mendukung ambisi besar mereka di bidang kecerdasan buatan yang kini mulai memengaruhi cara kerja di seluruh tim Microsoft.
Meski banyak yang mengaitkan pemangkasan ini dengan kemajuan AI, analis dari Glassdoor, Daniel Zhao, menilai bahwa pengurangan jumlah manajer lebih didorong oleh restrukturisasi organisasi ketimbang oleh penggantian peran manusia dengan teknologi AI. Jadi, walaupun AI membantu pekerjaan teknis seperti penulisan kode, peran pengelolaan dan kepemimpinan manusia masih sangat dibutuhkan.
Pemangkasan tenaga kerja yang dilakukan Microsoft juga menjadi bagian dari tren lebih luas di industri teknologi global tahun 2025, di mana perusahaan seperti Meta, Amazon, Salesforce, Google, dan Dell juga melakukan pengurangan staf di tengah pergeseran menuju teknologi baru termasuk kecerdasan buatan dan upaya penghematan biaya.