Pomodo Logo IconPomodo Logo Icon
Tanya PomodoSemua Artikel
Semua
Pomodo
TwitterInstagram
Tentang
TeknologiKecerdasan BuatanKendaraan Listrik dan BateraiKeamanan SiberPengembangan SoftwareGadgets dan WearablePermainan Console, PC, Mobile dan VRRobotika
BisnisEkonomi MakroStartup dan KewirausahaanManajemen dan Strategi BisnisMarketing
SainsFisika dan KimiaMatematikaNeurosains and PsikologiKesehatan dan Obat-obatanIklim dan LingkunganAstronomi dan Penjelajahan Luar Angkasa
FinansialMata Uang KriptoInvestasi dan Pasar ModalPerencanaan KeuanganPerbankan dan Layanan KeuanganKebijakan Fiskal
Stories
Sains

Inovasi Bioteknologi untuk Penangkapan Karbon dan Pengolahan Bahan Bumi Langka

Share

Penelitian terbaru menunjukkan penggunaan serangga sebagai reaktor kimia dan mikroba yang dimodifikasi secara genetik dapat meningkatkan penangkapan karbon serta pemrosesan bahan-bumi langka dengan efisiensi yang jauh lebih tinggi, menawarkan solusi yang lebih ramah lingkungan untuk tantangan iklim dan industri modern.

06 Jun 2025, 22.57 WIB

Menggunakan Ulat sebagai Reaktor Hidup untuk Membuat Molekul Nanokarbon

Menggunakan Ulat sebagai Reaktor Hidup untuk Membuat Molekul Nanokarbon
Para peneliti di Jepang telah menemukan cara baru untuk membuat molekul nanokarbon yang kuat dan bercahaya dengan memanfaatkan ulat sebagai reaktor hidup. Mereka menggunakan ulat tobacco cutworm yang biasa dianggap hama sebagai alat untuk membangun dan memodifikasi molekul-molekul ini dengan presisi tinggi, sesuatu yang sangat sulit dilakukan dalam laboratorium biasa. Ulat ini memiliki sistem pencernaan yang kuat dengan enzim khusus yang mampu melakukan reaksi kimia kompleks. Saat ulat ini diberi molekul nanokarbon berbentuk sabuk yang disebut [6]MCPP, dalam waktu dua hari molekul tersebut berubah menjadi molekul baru yang mengandung oksigen dan bisa memancarkan cahaya. Peneliti menggunakan berbagai alat seperti spektrometri massa, NMR, dan kristalografi sinar-X untuk memastikan struktur molekul hasil perubahan itu. Mereka juga berhasil menemukan dua enzim penting, CYP X2 dan CYP X3, yang bertugas mengubah molekul nanokarbon tersebut dengan cara yang sangat khusus dan efisien. Metode ini belum bisa ditiru di laboratorium dengan hasil yang memuaskan, tapi memberikan harapan besar untuk pembuatan material baru yang lebih mudah dan murah dengan memanfaatkan serangga atau mikroorganisme. Teknologi ini bisa dikembangkan lebih lanjut dengan bioteknologi modern seperti CRISPR untuk memprogram serangga agar menghasilkan molekul-molekul dengan fungsi spesifik. Walaupun ulat jenis tobacco cutworm dikenal sebagai hama pengganggu tanaman, penelitian ini menjadikan mereka sebagai pahlawan yang bekerja menghasilkan bahan kimia berguna. Penemuan ini bukan hanya inovasi dalam kimia dan biologi, tapi juga membuka jalan baru dalam pengembangan teknologi material masa depan.
06 Jun 2025, 02.03 WIB

Mikroba Ajaib Pengambil Logam dan Penangkap Karbon untuk Masa Depan Bersih

Mikroba Ajaib Pengambil Logam dan Penangkap Karbon untuk Masa Depan Bersih
Para ilmuwan menemukan bahwa mikroba mikroskopis bernama Gluconobacter oxydans bisa dimodifikasi untuk membantu mengekstrak logam langka yang sangat dibutuhkan untuk teknologi energi bersih. Cara ini lebih ramah lingkungan dibandingkan penambangan tradisional yang merusak alam. Dengan dua perubahan genetik saja, mikroba ini mampu meningkatkan produksi asam dan membuka jalur tersembunyi yang membantu melepaskan logam dari batuan. Hasilnya, ekstraksi logam tanah jarang meningkat hingga 73 persen tanpa merusak lingkungan. Selain itu, mikroba ini mempercepat proses alami penangkapan karbon dioksida dengan mempercepat pembentukan mineral dari magnesium dan besi. Proses penangkapan karbon ini terjadi secara alami tanpa perlu suhu atau tekanan tinggi dan bahan kimia berbahaya. Mikroba ini tidak hanya membantu mengurangi ketergantungan negara pada pasokan logam impor dari luar, seperti China, tapi juga membantu melawan perubahan iklim dengan menyimpan karbon secara permanen di dalam batuan. Penelitian ini dipimpin oleh tim di Cornell University dan mulai masuk tahap komersialisasi lewat startup REEgen. Teknologi ini menjanjikan solusi ramah lingkungan yang dapat mendukung masa depan energi bersih dan mitigasi perubahan iklim.
05 Jun 2025, 20.48 WIB

Tanah Liat Saponite: Solusi Murah dan Efektif Tangkap CO₂ dari Udara

Tanah Liat Saponite: Solusi Murah dan Efektif Tangkap CO₂ dari Udara
Para peneliti dari Purdue University dan Sandia National Laboratories menemukan bahwa tanah liat, terutama jenis saponite, dapat menyerap karbon dioksida langsung dari udara. Temuan ini penting karena menawarkan cara murah dan mudah untuk mengurangi kadar CO₂ yang menyebabkan pemanasan global. Keunikan tanah liat adalah luas permukaan dalam pori-porinya yang sangat besar. Satu sendok tanah liat memiliki luas permukaan sebanding dengan lapangan sepak bola. Pori-pori ini mampu menarik molekul CO₂ dengan kuat, sementara uap air cenderung mengisi bagian yang berbeda dari tanah liat. Penelitian mereka memanfaatkan sifat tanah liat untuk menyerap CO₂ terbaik dalam kondisi udara dengan kelembaban rendah, tanpa perlu pemanasan atau tekanan yang biasanya diperlukan dalam teknologi penangkapan karbon lain. Hal ini membuat teknologi ini lebih hemat energi. Sebelumnya, tim telah mempelajari kemampuan tanah liat untuk menyerap bahan beracun dari air. Pengetahuan ini membantu mereka memahami bagaimana tanah liat dapat dimodifikasi untuk menangkap CO₂ dengan efektif dan digunakan sebagai solusi iklim. Peneliti optimistis bahwa inovasi ini dapat memperluas jenis bahan yang digunakan untuk mengurangi emisi karbon, membantu menciptakan teknologi penyerapan karbon yang terjangkau dan mudah didapat, serta berkontribusi besar dalam perang melawan perubahan iklim.

Baca Juga

  • Inovasi Bioteknologi untuk Penangkapan Karbon dan Pengolahan Bahan Bumi Langka

  • Kemajuan Teknologi Hipersonik dan Nuklir Militer AS dan Rusia

  • Beberapa Kegagalan Pendaratan di Bulan oleh ISpace dan Badan Eropa

  • Kebijakan Trump Berdampak pada Sektor Sains dan Teknologi AS

  • Penemuan Baru Dinosaurus dan Arkeologi Menyinari Evolusi Kuno