China memiliki kapasitas tenaga batubara yang sangat besar, cukup untuk memasok listrik seluruh Amerika Serikat. Namun, penggunaan batubara menghasilkan banyak emisi karbon yang menyebabkan polusi dan perubahan iklim. Untuk mengatasi hal ini, China berencana mengubah pembangkit listrik batubara yang akan pensiun menjadi pembangkit listrik tenaga nuklir yang lebih ramah lingkungan.
Strategi ini dikenal dengan nama 'Coal to Nuclear' (C2N). Ide utama dari strategi ini adalah menggunakan fasilitas dan infrastruktur yang sudah ada di pembangkit batubara, seperti jaringan listrik dan akses air, untuk memasang reaktor nuklir generasi keempat yang lebih kecil, aman, dan efisien. Teknologi seperti reaktor gas suhu tinggi dan reaktor thorium garam cair sedang dikembangkan untuk tujuan ini.
Reaktor nuklir generasi keempat ini mampu menghasilkan uap dengan suhu yang lebih tinggi dibandingkan reaktor biasa sehingga bisa memanfaatkan turbin yang sebelumnya digunakan di pembangkit batubara. Ini membuat transisi lebih cepat dan hemat biaya. Selain itu, reaktor ini memiliki fitur keselamatan yang sangat baik, seperti tahan terhadap pencairan bahan bakar tanpa perlu pendinginan aktif.
China sangat cocok untuk melakukan transisi ini karena wilayah pesisirnya yang padat dan kebutuhan listrik tinggi serta keterbatasan lahan untuk membangun pembangkit baru. Meski begitu, tantangan utama tetap di biaya investasi dan penerimaan masyarakat terhadap nuklir, yang perlu dijawab dengan edukasi dan regulasi yang baik.
Jika berhasil, strategi C2N bisa mempercepat pengurangan emisi karbon sekaligus memanfaatkan aset lama. Dalam jangka panjang, jika teknologi fusi nuklir berkembang, pembangkit ini bisa disulap lagi menjadi pembangkit tenaga fusi yang jauh lebih bersih dan efisien, membuka era baru energi di China.