
Meta, perusahaan di balik Facebook, sedang berusaha keras mengembangkan teknologi kecerdasan buatannya dengan membangun laboratorium AI baru yang bernama superintelligence. Mark Zuckerberg langsung turun tangan untuk merekrut para peneliti AI terbaik, memberikan tawaran gaji yang sangat tinggi untuk membawa mereka bergabung. Tujuannya adalah membuat terobosan besar dalam dunia AI, terutama karena produk AI Meta saat ini, Llama, sudah tertinggal dari pesaing.
Selain Meta, perusahaan besar seperti Apple juga tengah berjuang mengikuti perkembangan AI. Apple mengakui mereka tertinggal dalam mengembangkan Siri berbasis AI dan baru akan menghadirkannya sekitar tahun 2026. Berbeda dengan Meta, Apple memilih pendekatan model AI yang berjalan langsung di perangkat pengguna dan tetap mengutamakan privasi, meskipun performanya masih kalah dibandingkan model-model AI cloud dari perusahaan lain.
Google juga tidak tinggal diam, walaupun menghadapi tantangan budaya perusahaan, Google melakukan program buyout untuk memacu pertumbuhan internal dan mempertajam fokus dalam divisi AI mereka. Upaya ini bertujuan membantu Google tetap kompetitif dalam persaingan AI yang semakin ketat, di mana Meta dan perusahaan lain berebut talenta AI terbaik di dunia.
Sementara itu, CEO Databricks, Ali Ghodsi, menyatakan bahwa kecanggihan AI masih memerlukan campur tangan manusia dalam menyelesaikan tugas-tugas penting. Meskipun AI sudah bisa memproses banyak hal secara otomatis, kita masih memerlukan kontrol dan persetujuan manusia untuk memastikan keputusan AI tepat dan bertanggung jawab.
Di bidang perangkat keras, perusahaan seperti Snap berinvestasi besar-besaran untuk mengembangkan kacamata AR, memperkirakan pasar baru di masa depan yang bisa mengurangi ketergantungan pada smartphone. Dengan semua perubahan ini, persaingan di dunia teknologi semakin ketat, dan perusahaan besar harus cepat beradaptasi agar tidak tertinggal di era kecerdasan buatan.