Fokus
Sains

Kemajuan dalam Fisika Partikel Mengungkap Rahasia Alam Semesta

Share

Para ilmuwan telah mencapai terobosan penting dalam fisika partikel dengan pengujian detektor sPHENIX yang berhasil membuka rahasia plasma Big Bang, serta penemuan 'pulau' inti misterius dimana hukum fisika tidak berlaku. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman mendalam tentang asal-usul alam semesta.

05 Sep 2025, 20.04 WIB

Peneliti Jerman Ungkap Penyebab Baru Es Jadi Licin, Bukan Karena Tekanan

Peneliti Jerman Ungkap Penyebab Baru Es Jadi Licin, Bukan Karena Tekanan
Selama hampir dua ratus tahun, banyak orang percaya bahwa es menjadi licin karena tekanan dan gesekan yang membuat permukaan es mencair. Teori ini telah diajarkan di berbagai kelas fisika dan menjadi penjelasan umum tentang mengapa orang dan objek sering tergelincir di atas es. Namun, penelitian terbaru yang dipimpin oleh Martin Müser dan timnya di Jerman menunjukkan bahwa asumsi ini kurang tepat. Peneliti dari Universitas Saarland menggunakan simulasi komputer canggih untuk mengkaji bagaimana molekul-molekul air berinteraksi ketika menjadi es. Mereka menemukan bahwa interaksi antara molekul dipol di permukaan es dan molekul dipol pada benda yang bersentuhan, seperti sepatu, lebih berperan dalam membuat es licin dibandingkan tekanan atau gesekan itu sendiri. Dalam fisika, molekul dipol terjadi karena distribusi muatan yang tidak merata, menghasilkan bagian bermuatan positif dan negatif yang membantu menciptakan gaya tarik menarik tertentu. Ketika es dan benda seperti sepatu bersentuhan, interaksi ini membuat struktur kristal es menjadi tidak stabil dan berubah menjadi lapisan cair yang tipis dan licin. Lebih menarik lagi, tim peneliti juga membuktikan bahwa lapisan tipis cair ini tetap terbentuk meskipun suhu sangat rendah, bahkan mendekati nol absolut. Hal ini bertentangan dengan kepercayaan lama yang mengatakan bahwa di bawah suhu –40 derajat Celsius, lapisan cair ini tidak mungkin terbentuk sehingga membuat ski menjadi sulit dilakukan. Penemuan ini mengubah pemahaman kita tentang sifat es dan faktor yang membuatnya licin, yang sebelumnya dikaitkan dengan tekanan dan gesekan. Penelitian ini membuka peluang baru untuk membuat teknologi dan alat yang lebih aman dan efektif digunakan di permukaan es dan dapat mempengaruhi bidang fisika material dan keselamatan di masa depan.
05 Sep 2025, 07.00 WIB

Simulasi Kuantum Terobosan untuk Memahami Alam Semesta dan Materi Kompleks

Simulasi Kuantum Terobosan untuk Memahami Alam Semesta dan Materi Kompleks
Simulasi dunia nyata menggunakan komputer biasa sulit dilakukan karena kompleksitas dan fenomena keterikatan kuantum yang membuat penghitungan menjadi sangat rumit. Untuk mengatasi masalah ini, para ilmuwan mengembangkan komputer kuantum yang mampu menangani fenomena ini secara lebih efektif dan mensimulasikan proses fisika yang sangat kompleks. Salah satu kemajuan penting tercapai di Innsbruck, Austria, di mana sebuah komputer kuantum yang menggunakan qudits berhasil mensimulasikan bidang elektromagnetik dua dimensi, memperlihatkan partikel kuantum yang muncul dan menghilang secara spontan. Pendekatan ini lebih efisien daripada komputer kuantum berbasis qubits karena qudits bisa menyimpan lebih banyak informasi dalam satu kesatuan. Para peneliti sedang berlomba-lomba mengembangkan berbagai jenis simulasi kuantum, baik yang digital maupun analog. Simulasi digital menggunakan algoritma komputer yang menjalankan langkah demi langkah perintah, sementara simulasi analog menggunakan sistem fisik serupa dan membiarkannya berkembang secara alami untuk meniru fenomena quanutm asli secara langsung. Tantangan terbesar adalah mensimulasikan medan kuantum yang mendasari gaya kuat yang mengikat partikel-partikel di inti atom, yang disebut Quantum Chromodynamics (QCD). Teori ini sangat rumit dan butuh alat simulasi yang jauh lebih kuat, dan di sinilah qudits memberikan harapan terbaik untuk melakukan simulasi dengan akurasi tinggi. Pendekatan hibrida yang menggabungkan simulasi analog dan digital mulai digunakan untuk memanfaatkan keunggulan kedua metode tersebut. Ini adalah perkembangan penting yang menjanjikan kemajuan pesat dalam pemahaman kita tentang alam semesta dan pembuatan teknologi baru berbasis simulasi kuantum.
04 Sep 2025, 07.14 WIB

Detektor sPHENIX Siap Menguak Rahasia Plasma Quark-Gluon Alam Semesta Awal

Detektor sPHENIX Siap Menguak Rahasia Plasma Quark-Gluon Alam Semesta Awal
sPHENIX adalah detektor partikel terbaru yang terpasang di Relativistic Heavy Ion Collider (RHIC) di Amerika Serikat. Detektor ini didesain khusus untuk mencatat hasil tabrakan ion berat pada kecepatan hampir mencapai cahaya, sehingga para ilmuwan dapat mempelajari keadaan materi paling awal di alam semesta yang dikenal sebagai plasma quark-gluon. Pada akhir tahun 2024, detektor ini berhasil melewati uji coba penting dengan merekam jumlah dan energi partikel yang dihasilkan saat ion emas bertabrakan. Hasil uji menunjukkan tabrakan langsung menghasilkan lebih banyak partikel bermuatan dibandingkan tabrakan miring, menandakan detektor sPHENIX bekerja dengan sangat baik. sPHENIX merupakan penerus eksperimen PHENIX dengan teknologi terbaru yang mampu merekam hingga 15.000 tabrakan per detik. Panel mikro-vertex yang dirancang oleh MIT menambah presisi pengukuran sehingga data yang diperoleh lebih tajam dan dapat dipercaya, memberikan fondasi kuat untuk penelitian lebih lanjut. Para peneliti bersemangat menyambut era baru penelitian plasma quark-gluon, yang hanya muncul dalam fraksi sangat singkat sesaat setelah Big Bang. Dengan kemampuan detektor ini, mereka berharap bisa menggali proses-proses langka yang memberikan informasi penting tentang sifat dan perilaku materi pada kondisi ekstrim. Proyek sPHENIX didukung oleh Departemen Energi Amerika Serikat dan National Science Foundation. Hasil penelitian ini telah dipublikasikan di Journal of High Energy Physics dan menandai langkah maju besar dalam fisika partikel dan studi awal alam semesta.
04 Sep 2025, 00.25 WIB

CERN Menemukan Batas Baru Pulau Inversi Neutron ke-40 pada Inti Atom

CERN Menemukan Batas Baru Pulau Inversi Neutron ke-40 pada Inti Atom
Penelitian terbaru di CERN telah berhasil memetakan batas barat dari sebuah wilayah eksotik di peta inti atom yang dikenal sebagai pulau inversi neutron ke-40. Wilayah ini menarik karena di sini aturan fisika nuklir yang biasa tidak berlaku, menyebabkan inti atom menunjukkan sifat dan bentuk yang tidak biasa dibanding inti yang stabil. Tim ilmuwan yang dipimpin oleh Louis Lalanne menggunakan instrumen CRIS di fasilitas ISOLDE untuk mempelajari inti kromium-61 yang memiliki 24 proton dan 37 neutron. Ini adalah isotop yang sebelumnya sangat sedikit dipahami dan kini digunakan sebagai penanda batas pulau inversi yang sulit diamati. Dalam model kulit klasik, proton dan neutron mengisi tingkat energi dengan aturan yang ditentukan oleh angka 'ajaib' yang memberi stabilitas ekstra. Namun, di pulau inversi, neutron justru mengisi kulit yang tidak biasa sehingga inti berubah bentuk dan perilakunya tidak bisa diprediksi dengan mudah. Hasil pengukuran spin dan momen magnetik dari kromium-61 menunjukkan bahwa inti ini sedang dalam keadaan transisi antara inti di luar dan di dalam pulau inversi. Ini memungkinkan para peneliti untuk dengan tepat menentukan batas di mana aturan model kulit konvensional mulai hilang. Penemuan ini bukan hanya penting untuk ilmu nuklir tetapi juga memberikan wawasan tentang evolusi cepat struktur inti, yang bisa membantu mengembangkan model baru dan menjelaskan fenomena inti eksotik lain yang belum bisa dijelaskan hingga kini.
03 Sep 2025, 21.16 WIB

Medan Magnet Purba Sangat Lemah Tapi Penting bagi Struktur Alam Semesta

Medan Magnet Purba Sangat Lemah Tapi Penting bagi Struktur Alam Semesta
Para peneliti internasional dari beberapa universitas terkemuka berhasil menentukan bahwa medan magnet yang ada di alam semesta awal sangatlah lemah, bahkan jauh lebih lemah daripada magnet kecil yang biasa kita lihat pada kulkas. Penelitian ini menunjukkan bahwa kekuatan medan magnet tersebut serupa dengan magnetisme yang dihasilkan oleh neuron otak manusia. Penelitian ini fokus pada pengaruh medan magnet primordial terhadap jaring kosmik, sebuah struktur besar yang menghubungkan galaksi-galaksi dengan pola seperti serat. Meskipun jaring kosmik sangat luas dan sebagian besar ruangnya kosong, penelitian bertujuan menjelaskan kenapa daerah-daerah tersebut tetap memiliki medan magnet. Tim menggunakan lebih dari 250.000 simulasi komputer untuk menguji bagaimana medan magnet primordial ini bisa memengaruhi struktur alam semesta, dari sebelum Big Bang hingga melalui berbagai fase transisi penting dalam sejarah alam semesta. Simulasi ini kemudian dibandingkan dengan data pengamatan yang ada untuk menguji akurasi dan kecocokannya. Ditemukan bahwa model alam semesta yang memasukkan medan magnet primordial dengan intensitas sekitar 0,2 nano-gauss paling sesuai dengan pengamatan nyata. Hasil ini juga menurunkan batas atas estimasi kekuatan medan magnet primordial dibandingkan dengan studi sebelumnya, sehingga memperjelas pemahaman tentang kondisi alam semesta awal. Studi ini mengisyaratkan bahwa medan magnet primordial yang sangat lemah itu ternyata berperan penting dalam mempercepat pembentukan bintang dan galaksi dengan meningkatkan kepadatan jaring kosmik. Penelitian ini diharapkan dapat divalidasi dengan hasil pengamatan dari Teleskop Luar Angkasa James Webb dan memberikan dampak penting bagi model pembentukan struktur kosmik.