
OpenAI merespons kritik terkait kekhawatiran bahwa kecerdasan buatan akan mengambil alih pekerjaan manusia dengan menciptakan platform yang membantu perusahaan menemukan pekerja yang ahli dalam AI. CEO OpenAI, Fidji Simo, menyatakan bahwa AI akan membuka peluang baru sekaligus menimbulkan disrupsi di dunia kerja, sehingga perlu pendekatan yang hati-hati dan terstruktur.
Laporan dari Federal Reserve Bank of New York menunjukkan bahwa walaupun lebih banyak perusahaan mengaplikasikan AI dalam proses kerja, mereka lebih memilih untuk melatih ulang karyawan daripada melakukan pemutusan hubungan kerja. Namun, sekitar 13% perusahaan layanan yang menggunakan AI memperkirakan adanya pengaruh dari AI terhadap PHK dalam enam bulan ke depan.
Sementara itu, data dari perusahaan outplacement Challenger, Gray & Christmas mengungkapkan bahwa lebih dari 10 ribu pekerjaan sudah terpengaruh oleh pengaruh AI di tahun 2025, yang menunjukkan adanya percepatan restrukturisasi terkait teknologi ini. Kekhawatiran juga muncul dari para pekerja yang menghadapi persaingan ketat di pasar tenaga kerja yang sedang menurun.
Sebagai tanggapan, OpenAI mengembangkan platform pekerjaan yang akan menyediakan jalur khusus untuk membantu bisnis lokal bersaing dan mendukung pemerintah lokal mencari tenaga kerja terampil AI. OpenAI juga meluncurkan program sertifikasi yang akan melatih masyarakat dari dasar penggunaan AI hingga keterampilan khusus seperti rekayasa prompt, dengan target menjangkau 10 juta orang Amerika pada tahun 2030 lewat kerja sama dengan Walmart.
Pengembangan inisiatif ini sejalan dengan rencana pemerintah AS untuk mempercepat adopsi AI secara nasional. Walaupun pasar tenaga kerja saat ini sedang mengalami tekanan dengan pertambahan pekerjaan yang sangat sedikit dan kenaikan pengangguran, langkah OpenAI mencoba memastikan pekerja dapat menghadapi perubahan zaman dengan keterampilan AI yang relevan.