Pomodo Logo IconPomodo Logo Icon
Tanya PomodoSemua Artikel
Semua
Fokus
Sains

AS vs China: Jalur Berbeda dalam Teknologi Hijau

Share

Beberapa laporan mengungkap dinamika pergeseran inovasi teknologi hijau, dengan China mendorong revolusi teknologi mineral kritis dan inovasi hijau, sementara AS mengalami kemunduran yang mengingatkan pada sejarah. Kisah ini menyoroti persaingan strategis dalam dunia teknologi dan geopolitik.

13 Des 2025, 11.02 WIB

Biaya rendah, Bukan Geopolitik, Kunci Sukses Transisi Energi Global

Biaya rendah, Bukan Geopolitik, Kunci Sukses Transisi Energi Global
Transisi energi hijau di seluruh dunia kini lebih dipengaruhi oleh bagaimana negara-negara bisa menekan biaya daripada oleh faktor geopolitik yang kerap dianggap sebagai hambatan utama. Arif Aga, seorang konsultan energi terbarukan, menjelaskan bahwa fokus utama pengadopsian energi bersih adalah efisiensi biaya dan infrastruktur yang handal. China telah mengambil posisi dominan dalam penyediaan energi bersih global karena kapasitas manufakturnya yang besar serta kemampuan inovatif untuk mengembangkan teknologi baru dengan biaya yang sangat rendah. Hal ini membuat negara-negara lain sulit untuk bersaing tanpa menggandeng China sebagai mitra. Meski politik dan hubungan antarnegara mempengaruhi kebijakan energi, menurut Aga, kondisi ini hanya bersifat sementara. Seiring kemajuan teknologi dan kebutuhan mendesak untuk mengurangi jejak karbon, negara-negara akan semakin membutuhkan dukungan dari pemain utama yang memiliki pengalaman dan kapasitas produksi besar. Perubahan teknologi yang cepat juga menjadi faktor kunci yang memungkinkan sistem energi terbarukan terus berkembang dan menjadi lebih murah. Pemain yang telah lama berkecimpung dalam industri energi terbarukan memiliki keunggulan untuk terus mengadopsi dan menyesuaikan inovasi-inovasi teknologi terbaru. Dengan kata lain, di masa depan, faktor biaya dan kehandalan teknologi akan menjadi kunci utama transisi energi global yang sukses, sementara tekanan geopolitik hanya akan menjadi hal sementara yang tidak menghambat kemajuan jangka panjang penggunaan energi bersih.
13 Des 2025, 06.01 WIB

Amerika Serikat Mundur, China Membuka Jalan Energi Bersih Global

Amerika Serikat Mundur, China Membuka Jalan Energi Bersih Global
Pada abad ke-19, Empress Dowager Cixi dari Dinasti Qing menolak pembangunan rel kereta api yang dianggapnya mengganggu ketertiban tradisional. Tindakannya ini memperlambat perkembangan teknologi dan kemajuan di China, yang berkontribusi pada kejatuhan dinasti tersebut dalam beberapa dekade berikutnya. Kini, situasi serupa tampak terjadi tidak di China, tetapi di Amerika Serikat. Di masa lalu, AS dikenal sebagai pemimpin global dalam sains iklim dan inovasi yang mendukung energi terbarukan. Namun, di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump, prioritas berbalik ke sektor batubara yang kotor dan kuno, menghentikan laju kemajuan energi bersih. Sementara itu, China, yang dulu dikritik karena emisi karbon yang besar, justru giat mengembangkan teknologi energi terbarukan dan memberikan akses kepada negara-negara berkembang untuk melompati tahap penggunaan energi fosil. Ini merupakan peluang besar agar negara-negara tersebut dapat langsung menggunakan teknologi yang lebih bersih dan berkelanjutan. Penolakan AS terhadap kemajuan dalam sektor energi hijau menimbulkan kekhawatiran bahwa sejarah akan berulang, di mana keengganan berinovasi berujung pada kemunduran dibandingkan dengan negara yang lebih progresif. Ini sangat penting karena dunia membutuhkan kolaborasi dan kepemimpinan dalam menghadapi krisis iklim yang semakin mendesak. Dalam konteks global, posisi China yang semakin kuat di bidang energi bersih menandai perubahan besar dalam peta kepemimpinan dunia. Kegagalan AS dalam mempertahankan peran pionir hanya akan memperbesar ketimpangan dan memperlambat solusi iklim yang mendesak demi kesejahteraan planet dan generasi mendatang.
13 Des 2025, 05.00 WIB

Sementara AS Mundur, China Dorong Negara Berkembang ke Energi Bersih

Sementara AS Mundur, China Dorong Negara Berkembang ke Energi Bersih
Dahulu, saat teknologi kereta api pertama kali diperkenalkan dekat Beijing, penguasa Dinasti Qing, Empress Dowager Cixi, menolak kemajuan ini karena dianggap mengganggu tradisi dan kepercayaan. Bahkan, kereta api diganti dengan kuda demi menjaga tata kelola yang lama. Penolakan terhadap perubahan teknologi ini menyebabkan keterlambatan modernisasi di China, yang secara perlahan menyiapkan kondisi runtuhnya dinasti tersebut dalam waktu beberapa dekade. Ini menjadi pelajaran tentang pentingnya beradaptasi dengan inovasi demi kemajuan bangsa. Saat ini, Amerika Serikat menunjukkan sikap yang serupa dengan memilih untuk kembali menghidupkan industri batu bara, meski ini berdampak buruk bagi emisi dan memperlambat perkembangan energi terbarukan. Keputusan ini berkonsekuensi pada melemahnya peran AS sebagai pemimpin global bidang iklim dan inovasi hijau. Di sisi lain, China maju pesat dalam pengembangan teknologi energi terbarukan dan memproduksi secara besar-besaran dengan harga murah. Langkah ini mempermudah negara-negara berkembang untuk mulai menggunakan energi yang lebih bersih dan ramah lingkungan. Menurut Solomon Hsiang dari Stanford University, keberadaan alternatif dari China memungkinkan negara dengan ekonomi rendah untuk melakukan lompatan teknologi energi bersih dengan lebih cepat, membawa harapan baru dalam perjuangan melawan perubahan iklim global.
10 Des 2025, 05.00 WIB

Inovasi Eropa Diadopsi Cepat di China: Teknologi Penghilang Silika Terbesar Dunia

Inovasi Eropa Diadopsi Cepat di China: Teknologi Penghilang Silika Terbesar Dunia
Sebuah perusahaan start-up dari Eropa mengembangkan teknologi baru yang mampu mengubah material sisa dari proses penambangan bijih bauksit menjadi bahan baku berkualitas tinggi yang bisa digunakan dalam produksi aluminium. Teknologi ini berpotensi untuk menghidupkan kembali tambang-tambang lama dan membuka jalan bagi penambangan mineral penting yang dibutuhkan oleh berbagai industri modern. Walaupun teknologi ini berasal dari Eropa, penerapan skala industri besar dilakukan di China. Dalam waktu singkat, China berhasil membangun sebuah kompleks industri di Liulin, Shanxi dengan teknologi ini hanya dalam 10 bulan, menunjukkan kecepatan dan efisiensi luar biasa dalam pengembangan proyek mineral kritis. Proyek tersebut adalah hasil kerja sama antara perusahaan Eropa IB2 dan perusahaan energi lokal Shanxi Senze Energy Technology Group. Kolaborasi ini difasilitasi dengan dukungan kuat dari pemerintah provinsi Shanxi yang ingin memacu transformasi industri di wilayahnya. Implementasi teknologi penghilang silika secara besar-besaran ini merupakan yang pertama di dunia. Teknologi ini tidak hanya meningkatkan kualitas bahan baku aluminium, tetapi juga membuka peluang untuk ekstraksi mineral kritis dan tanah jarang yang sangat penting bagi teknologi tinggi seperti semikonduktor dan kendaraan listrik. Sementara negara-negara Barat masih mengadakan diskusi dan pertemuan untuk memperkuat produksi mineral kritis dalam negeri, China bergerak lebih cepat dan efektif. Kecepatan ini dapat membuat China menjadi pemimpin global dalam industri mineral kritis dan aluminium di masa depan.

Baca Juga

  • Ledakan Kosmik Misterius: Mengungkap Fenomena Ruang Angkasa dan 'Skyquake'

  • AS vs China: Jalur Berbeda dalam Teknologi Hijau

  • Transformasi Digital Kesehatan: Meningkatkan Perawatan Pasien Melalui AI dan Interoperabilitas

  • Regulasi Panduan Kesehatan Mental yang Disampaikan oleh AI

  • Konvergensi Teknologi Kuantum dalam Komputasi, Pertahanan, dan Material