
Pada abad ke-19, Empress Dowager Cixi dari Dinasti Qing menolak pembangunan rel kereta api yang dianggapnya mengganggu ketertiban tradisional. Tindakannya ini memperlambat perkembangan teknologi dan kemajuan di China, yang berkontribusi pada kejatuhan dinasti tersebut dalam beberapa dekade berikutnya.
Kini, situasi serupa tampak terjadi tidak di China, tetapi di Amerika Serikat. Di masa lalu, AS dikenal sebagai pemimpin global dalam sains iklim dan inovasi yang mendukung energi terbarukan. Namun, di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump, prioritas berbalik ke sektor batubara yang kotor dan kuno, menghentikan laju kemajuan energi bersih.
Sementara itu, China, yang dulu dikritik karena emisi karbon yang besar, justru giat mengembangkan teknologi energi terbarukan dan memberikan akses kepada negara-negara berkembang untuk melompati tahap penggunaan energi fosil. Ini merupakan peluang besar agar negara-negara tersebut dapat langsung menggunakan teknologi yang lebih bersih dan berkelanjutan.
Penolakan AS terhadap kemajuan dalam sektor energi hijau menimbulkan kekhawatiran bahwa sejarah akan berulang, di mana keengganan berinovasi berujung pada kemunduran dibandingkan dengan negara yang lebih progresif. Ini sangat penting karena dunia membutuhkan kolaborasi dan kepemimpinan dalam menghadapi krisis iklim yang semakin mendesak.
Dalam konteks global, posisi China yang semakin kuat di bidang energi bersih menandai perubahan besar dalam peta kepemimpinan dunia. Kegagalan AS dalam mempertahankan peran pionir hanya akan memperbesar ketimpangan dan memperlambat solusi iklim yang mendesak demi kesejahteraan planet dan generasi mendatang.