
Baru-baru ini, banyak orang mulai merasa ragu terhadap kecerdasan buatan atau AI. Kekhawatiran muncul karena AI dianggap bisa menggantikan pekerjaan manusia, menghasilkan informasi yang tidak akurat, serta menyebabkan penyalahgunaan yang meluas. Selain itu, AI juga dianggap memakan banyak energi dan menguntungkan beberapa perusahaan besar secara berlebihan. Namun, survei terbaru menunjukkan sebagian besar masyarakat masih berharap pemimpin bisnis bertanggung jawab dalam penggunaan AI yang etis.
Survei yang dilakukan oleh Just Capital bersama The Harris Poll, Robinhood Foundation, dan Gerson Lehrman Group mengumpulkan pendapat dari ribuan orang, termasuk investor, eksekutif perusahaan, dan masyarakat umum di Amerika Serikat. Hasilnya menunjukkan mayoritas dari ketiga kelompok tersebut percaya bahwa AI akan berdampak positif bagi masyarakat dalam lima tahun ke depan. Meski begitu, antusiasme masyarakat umum sedikit lebih rendah dibandingkan investor dan eksekutif.
Isu keamanan AI menjadi perhatian besar di luar perusahaan, di mana investor dan masyarakat menginginkan sekitar 5% atau lebih dari anggaran AI dialokasikan untuk keamanan. Tetapi para pemimpin bisnis hanya merencanakan antara 1-5%. Ada juga kesepakatan luas bahwa konten yang dibuat AI harus diberi tanda khusus atau watermark untuk menunjukkan bahwa itu bukan konten asli manusia. Perlindungan hak kekayaan intelektual kreator konten juga sangat didukung.
Selain itu, ada yang setuju bahwa operator pusat data harus memberikan kompensasi kepada masyarakat lokal jika penggunaan AI menyebabkan dampak energi dan lingkungan yang meningkat. Dalam hal keuntungan dari AI, para eksekutif lebih fokus membaginya kepada pemegang saham dan penelitian, sementara masyarakat lebih mendukung agar keuntungan tersebut digunakan untuk pelatihan tenaga kerja dan menurunkan harga produk atau jasa.
Meskipun kebanyakan eksekutif berencana memberikan pelatihan AI untuk karyawan, mereka kurang berniat memberikan bantuan tambahan bagi karyawan yang kehilangan pekerjaan, seperti perpanjangan kompensasi atau pendidikan ulang. Hal ini menunjukkan bahwa pelatihan keterampilan terkait AI lebih diprioritaskan di luar lingkungan perusahaan, sejalan dengan harapan publik yang menginginkan dukungan lebih besar untuk pekerja terdampak.